Kendari — Dugaan pemalsuan dokumen tanah resmi dilaporkan ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sulawesi Tenggara pada Selasa (18/11/2025).
Kasus ini merupakan laporan yang diajukan oleh Syarif Lauto sejak 24 Juni 2025 dan kembali menjadi sorotan publik karena proses penyidikannya dinilai lamban serta belum menunjukkan perkembangan berarti.
Syarif, warga Kelurahan Lepo-Lepo, Kecamatan Baruga, Kota Kendari, melaporkan seorang mantan kepala sekolah di Wanggu berinisial Y. Ia menuding Y telah memalsukan tanda tangan miliknya dan istrinya dalam dokumen tanah yang berlokasi di Kecamatan Lepo-Lepo.
“Iya, sudah saya laporkan dugaan pemalsuan dokumen itu. Tanda tanganku dipalsukan. Surat tanah tersebut dikeluarkan tahun 1996, sementara saat itu saya berada di Malaysia,” ujar Syarif kepada wartawan.
Ia menjelaskan terdapat beberapa hal yang diduga dipalsukan dalam surat tersebut dan berharap penyidik segera mengambil langkah tegas.
“Saya meminta penyidik untuk segera menindaklanjuti laporan saya, karena ini sangat merugikan saya,” tambahnya.
Diketahui, Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) juga telah diterima oleh tim kuasa hukum Syarif. Dalam surat tersebut, laporan dinyatakan telah ditangani oleh penyidik Unit 3 Subdit II Ditreskrimum Polda Sultra. Namun hingga kini, pelapor dan kuasa hukum mengaku masih belum menerima kejelasan mengenai langkah konkret penyidikan.
Kuasa hukum Syarif, Yendra Laturumo, menegaskan bahwa pihaknya telah menyerahkan bukti-bukti yang sangat kuat dan seharusnya dapat mempercepat proses penyidikan. Bukti tersebut menjelaskan bahwa:
1. Kliennya, Syarif Lauto, tidak pernah membuat atau menandatangani Surat Keterangan Penguasaan/Pengalihan Atas Bidang Tanah yang digunakan pihak lain.
2. Nama istri Syarif dalam surat tersebut salah dan tidak sesuai identitas asli.
3. Syarif tidak pernah mengetahui keberadaan dokumen dimaksud, apalagi menyerahkannya ke pihak lain.
4. Akibat dugaan pemalsuan ini, Syarif tidak dapat menguasai, mengurus, atau menjual tanah miliknya sendiri, sehingga menimbulkan kerugian besar.
“Semua bukti pembanding berupa tanda tangan asli, dokumen resmi keluarga, hingga kesalahan identitas telah kami serahkan. Temuan awal ini semestinya cukup untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan melalui uji laboratorium forensik,” tegas Yendra.
Namun hingga saat ini, ia menilai belum ada progres transparan dari kepolisian.
“Bukti kami sangat terang. Klien kami tak pernah membuat surat itu, nama istrinya pun salah, dan ia tidak tahu sama sekali tentang dokumen tersebut. Ini sudah merugikan klien kami karena ia tidak bisa melakukan transaksi atas tanahnya sendiri,” ujarnya.
Situasi tersebut dikhawatirkan dapat menghambat pencarian kebenaran, menghilangkan bukti, sekaligus mengikis kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Yendra pun mendesak Polda Sultra untuk mempercepat proses penyidikan sesuai asas profesionalitas, kepastian hukum, dan akuntabilitas.
“Masyarakat kini menunggu langkah nyata aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus ini secara objektif dan transparan,” tutupnya. (Red)


























