Ahli Hukum Pidana Jelaskan Unsur Pidana dalam Kasus Dugaan Ijazah Palsu La Ami

0

Kendari – Sidang lanjutan perkara dugaan ijazah palsu yang melibatkan anggota DPRD Kota Kendari dari Fraksi NasDem, La Ami, kembali digelar di Pengadilan Negeri Kendari, Sabtu (11/10/2025).
Agenda sidang kali ini menghadirkan dua saksi dan satu ahli hukum pidana dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) Muhammad Irhan Roihan, S.H., M.H.

Ahli hukum pidana yang dihadirkan, Dr. Apriyanto Nusa, S.H., M.H., memberikan penjelasan mendalam terkait unsur-unsur pidana dalam kasus penggunaan ijazah palsu. Diketahui, ahli tersebut telah memberikan keterangan dalam lebih dari 535 perkara sebelumnya.

Menurut Dr. Apriyanto Nusa, untuk mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana, terdapat dua unsur utama yang harus terpenuhi:

1. Mens Rea (niat jahat), dan

2. Actus Reus (perbuatan jahat).

“Perbuatan pidana harus memenuhi dua unsur pokok ini. Artinya, ada kehendak batin yang jahat dan tindakan nyata yang melanggar hukum,” jelasnya di hadapan majelis hakim.

Ia menambahkan, dalam hukum pidana dikenal dua ajaran, yakni Monistis dan Dualistis. Dalam ajaran Monistis, perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana dianggap satu kesatuan, sementara dalam Dualistis, keduanya dipisahkan.
“Asas yang berlaku dalam ajaran dualistis adalah Geen Straf Zonder Schuld, tiada pidana tanpa kesalahan,” ujarnya.

Kualifikasi Tindak Pidana Ijazah Palsu

Menyoroti Pasal 69 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Dr. Apriyanto menjelaskan bahwa penggunaan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, atau vokasi yang terbukti palsu termasuk dalam tindak pidana formil.

“Pasal 69 UU Sisdiknas menitikberatkan pada perbuatannya, bukan akibatnya. Jadi tidak perlu membuktikan adanya kerugian materiil, cukup terbukti perbuatan menggunakan dokumen palsu,” tegasnya.

Ahli juga menilai bahwa pasal tersebut terkualifikasi sebagai delik biasa (Gewone Delictie), bukan delik aduan. Artinya, penegak hukum dapat memproses perkara ini tanpa menunggu adanya laporan dari pihak tertentu.

Lex Specialis dari KUHP

Lebih lanjut, Dr. Apriyanto menjelaskan bahwa Pasal 69 UU Sisdiknas merupakan lex specialis dari ketentuan pidana umum dalam Pasal 263, 264, dan 266 KUHP tentang pemalsuan dokumen.
“Ketentuan ini hadir untuk melindungi dunia pendidikan dari praktik penyalahgunaan ijazah atau sertifikat tanpa proses pembelajaran yang sah,” katanya.

Menurutnya, pendidikan bukan semata soal ijazah, melainkan proses pembelajaran yang terukur dan terencana.
“Kalau seseorang tiba-tiba mendapat ijazah tanpa proses belajar, itu melanggar inti dari konsep pendidikan nasional,” tambahnya.

Unsur Kesengajaan dan Pembuktian

Menjawab pertanyaan JPU, Dr. Apriyanto menjelaskan bahwa Pasal 69 UU Sisdiknas memang tidak secara eksplisit menyebutkan unsur “dengan sengaja”.
“Kalau unsur kesengajaan tidak disebut, maka tidak perlu dibuktikan secara terpisah. Cukup dibuktikan bahwa perbuatannya terjadi, maka unsur kesengajaan dianggap terselubung di dalamnya,” jelasnya.

Ia menegaskan, niat jahat (Mens Rea) tercermin melalui tindakan nyata atau perbuatan yang dilakukan.
“Dalam kasus penggunaan ijazah palsu, niat itu tampak saat seseorang sadar tidak pernah mengikuti proses pembelajaran tetapi tetap menggunakan dokumen tersebut untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.

 

Dokumen Palsu: Bentuk Intelektual dan Material

Ahli hukum pidana ini juga menerangkan bahwa dalam teori terdapat dua bentuk dokumen palsu:

1. Intellectual Forgery (Pemalsuan Intelektual)  palsunya terletak pada isi surat, bukan bentuknya.

2. Material Forgery (Pemalsuan Materiil) — palsunya ada pada bentuk fisik atau identitas dalam surat.

“Dalam kasus ini, yang relevan adalah Intellectual Forgery, karena dokumen mungkin berbentuk asli, tapi isinya tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya,” tegas Dr. Apriyanto.

Pada akhir keterangannya, Dr. Apriyanto menegaskan bahwa tindak pidana penggunaan ijazah palsu terjadi pada saat dokumen itu digunakan untuk kepentingan tertentu, misalnya sebagai syarat permohonan di pengadilan.
“Kerugian bukan unsur yang harus dibuktikan dalam tindak pidana ini. Yang dilindungi adalah kepercayaan publik terhadap keaslian dan kebenaran dokumen,” pungkasnya. (Red)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here