Kendari — Kuasa Hukum terdakwa kasus dugaan pencabulan anak di Kendari, Andre Darmawan, mencurigai adanya peradilan sesat dan upaya rekayasa dalam proses hukum yang kini bergulir di Pengadilan Negeri Kendari.
Dalam konferensi pers, Kamis (27/11/2025), Andre mengungkapkan sejumlah kejanggalan mulai dari tidak ditampilkannya hasil visum, perbedaan keterangan saksi, hingga dugaan keterlibatan oknum aparat penegak hukum (APH).
Kasus ini bermula dari tuduhan pencabulan terhadap seorang anak yang diduga dilakukan oleh BDM pada acara yasinan menjelang Pilkada Konawe, 21 November 2024.
Menurut Andre, tuduhan itu tidak masuk akal karena lokasi kejadian berada di tempat umum yang ramai.
“Suasana yasinan ramai. Dari awal kami sampaikan, sangat kecil kemungkinan terjadi pencabulan,” ujarnya.
Andre menerangkan, kliennya hanya menggendong anak tersebut, menanyakan soal Pancasila dan perkalian, lalu memberikan uang Rp5.000 sebelum pulang. Namun tidak lama kemudian, orang tua anak menyeret BDM dan langsung menuduhnya mencabuli anak itu.
Kejanggalan pertama yang disoroti Andre adalah hasil visum. Peristiwa terjadi pada 21 November 2024, sementara visum dilakukan sehari setelahnya. Namun, hingga persidangan berlangsung, hasil visum tersebut tidak pernah ditampilkan.
“Anehnya, polisi pernah menyampaikan bahwa ada bukti visum yang menguatkan. Tapi di persidangan, visum itu tidak pernah dimunculkan,” tegasnya.
Tim kuasa hukum telah meminta majelis hakim menghadirkan hasil visum sebagaimana diatur dalam Pasal 180 KUHAP, namun permintaan itu tidak dipenuhi.
“Kami yakin 99 persen ada hal yang disembunyikan dari hasil visum sehingga tidak ditampilkan,” kata Andre.
Ia menambahkan, jika visum itu ditampilkan, “akan membuka persoalan baru yang besar.”
Kuasa hukum berencana mengirim surat resmi ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk meminta rekam medis visum sesuai ketentuan Undang-Undang Kesehatan.
Andre mengungkapkan, pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepolisian, anak tersebut tidak pernah menyebut merasakan tonjolan keras atau melihat terdakwa membuka resleting celana. Namun di persidangan, keterangan berbeda tiba-tiba muncul.
“Ketika kami tanya mengapa keterangan di BAP dan persidangan berbeda, anak itu menjawab bahwa ia sudah menyampaikan sejak awal, tetapi tidak dicatat polisi. Kami tercengang,” ujar Andre.
Tim kuasa hukum juga meminta agar polisi yang memeriksa BAP dihadirkan ke persidangan, namun permintaan tersebut tidak pernah dipenuhi.
Kejanggalan ketiga adalah terkait barang bukti pakaian anak yang tidak pernah disita penyidik di awal penyidikan.
“Baru di persidangan pakaiannya muncul dan dibawa. Kami mempertanyakan keasliannya,” tegas Andre.
Ipar terdakwa, Yusrin Tosepu, juga menduga adanya campur tangan oknum APH dalam kasus ini.
Menurutnya, salah satu keluarga korban merupakan aparat kejaksaan berinisial AHT yang juga memiliki kedekatan dengan ibu korban.
“Fakta di lapangan mengarah ke sana. Ada indikasi kuat,” ujar Yusrin.
Ia juga menyebut adanya pernyataan keluarga korban yang ngotot melanjutkan kasus ini karena menyangkut harga diri keluarga.
Asriani, istri terdakwa, turut menguatkan adanya kejanggalan dalam proses visum. Ia mengaku sempat melihat anaknya akan divisum, namun pemeriksaan batal karena tidak ada dokter.
“Kalau polis bilang visum sudah ada, kenapa tidak pernah ditampilkan? Mereka selalu beralasan keluar daerah atau tidak ada bukti. Bagaimana bisa BP21?” ungkapnya.
Tim kuasa hukum dan keluarga terdakwa menyatakan siap melaporkan jaksa, penyidik, hingga majelis hakim yang diduga tidak menjalankan proses hukum secara transparan. Mereka menilai hal ini melanggar KUHAP dan kode etik.
Mereka juga akan bersurat kepada Ketua PN Kendari dengan permintaan agar sidang dibuka kembali untuk menghadirkan saksi polisi serta bukti visum yang selama ini tidak pernah dihadirkan.
“Kami tidak ingin ada sesuatu yang disembunyikan. Ini menyangkut masa depan seseorang. Ancaman hukuman minimal 5 tahun, maksimal 15 tahun. Ini bukan main-main,” pungkas Andre. (Red)


























