Kendari — Dugaan pungutan liar (pungli) mencuat di SMKN 3 Kendari terkait pengadaan atribut sekolah yang dibebankan kepada siswa baru. Kasus ini memicu sorotan tajam dari Aliansi Pemuda dan Pelajar Sulawesi Tenggara (AP2 Sultra), yang menilai praktik tersebut melanggar aturan dan memberatkan masyarakat.
Ketua Umum AP2 Sultra, Fardin Nage, menegaskan bahwa pengadaan atribut seperti seragam, dasi, topi, dan perlengkapan lainnya seharusnya tidak dijadikan kewajiban dengan skema pembelian terpusat oleh sekolah. Menurutnya, praktik tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah dan merupakan bentuk pungli.
“Apa yang dilakukan di SMKN 3 Kendari adalah pungli nyata. Tidak ada peraturan yang mewajibkan siswa membeli atribut dari sekolah. Ini bentuk pemaksaan dan penyalahgunaan kewenangan,” tegas Fardin dalam keterangannya kepada media. Senin (7/7/2025)
Sebagai bentuk tanggapan atas keluhan masyarakat, AP2 Sultra membuka posko pengaduan bagi orang tua dan siswa yang merasa keberatan. Fardin menegaskan bahwa pihaknya siap mendampingi pelapor hingga ke proses hukum.
“Kami sudah membuka posko aduan. Bagi masyarakat yang dirugikan atau merasa dipaksa membeli atribut, silakan datang dan melapor. Ini harus dihentikan,” ujarnya.
Fardin juga meminta aparat penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan Tinggi dan Polda Sulawesi Tenggara, agar segera membentuk tim khusus untuk memberantas pungli di sektor pendidikan. Ia menilai kasus di SMKN 3 Kendari bisa menjadi pintu masuk membongkar praktik serupa di sekolah lain.
Diketahui, pengadaan atribut siswa seharusnya merujuk pada Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Seragam Sekolah. Aturan tersebut menyebutkan bahwa sekolah tidak boleh mewajibkan pembelian seragam dari satu tempat tertentu, apalagi melalui skema yang membebani wali murid.
Selain itu, Ombudsman RI dan Kementerian Pendidikan secara tegas telah melarang sekolah melakukan pungutan tanpa dasar hukum yang jelas, terlebih di sekolah negeri.
AP2 Sultra berharap, langkah tegas aparat hukum dapat menghentikan praktik pungli di dunia pendidikan. “Kalau ini dibiarkan, maka pendidikan kita justru akan jadi ladang bisnis yang merugikan siswa. Sekolah seharusnya jadi ruang belajar, bukan tempat komersialisasi,” tutup Fardin. (Red)